Sunday, February 21, 2016

PKn modul 8 otonomi daerah

MODUL 8
OTONOMI DAERAH

Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalh pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat dalam suatu Negara bangsa, melakui lembaga-lembaga pemerintah formal diluar pemerintah pusat. Kewenangan dalam otonomi daerah tersebut diberikan oleh pemerintah pusat secara terbatas dalm kerangka Negara Kesatuan RI.
Ada dua bentuk Otonomi, yaitu otonomi yang bersifat arsifiasial atau diciptakan dengan produk hukum dan otonomi asli. Otonomi merupakan varian dari asas kedaerahan dan desentralisasi politik.
Desentralisasi sering disebut sebagai pemberian otonomi atau proses pengotonomian. Hubungan desentralisasi dengan otonomi daerah diumpamakan seperti dua sisi dari satu keeping mata uang (G. S. Maryanov, 1958).
Dilihat dari sudut pandang pemerintah pusat yang berlangsung penyelenggaraan desentralisasi dalam Negara kesatuan RI, sedangkan dilihat dari sudut pandang pemerintah daerah yang terjadi otonomi. Dalam praktik kedua istilah ini sering ditukar pakaikan.
Desentralisasi bukan merupakan alternative dari sentralisasi karena tidak dilawankan dan karenanya tidak bersifat dikotomis. Ia merupakan sub-sistem dalam sistem Negara bangsa. Negara bangsa merupakan sistem, sedangkan desentralisasi, otonomi daerah, dan tugas berbantuan merupakan spesiesnya.

Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Perbedaan konsep dan paradigma otonomi daerah
Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di kalangan cendikiawan, dan para pejabat birokrasi. Ada yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan, terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat istiadat dan sifat-sifatnya dalam konteks Negara kesatuan (Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000:11).
Ada juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, dimana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan, persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.
Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan.
 Kuatnya Paradigma Birokrasi
Sampai saat ini pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan yang dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otda dan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.
 Lemahnya Kontrol Wakil Rakyat dan Masyarakat
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peran wakil rakyat dalam mengontrol eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, daripada melayani kepentingan masyarakat lokal.
 Kesalahan Strategi
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otda diberlakukan pada suatu pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal.
Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Good Governance Kunci mewujudkan Otonomi Daerah
Otonomi daerah pada hakikatnya reformasi dalam system pemerintah. Orientasi teoritis paradigmatik yang mengarah pada birokrasi klasik dan lemahnya standar penilaian kinerja pemerintah yang mengutamakan cara dari pada tujuan harus diubah mengarah ke orientasi kinerja yang mengikuti paradigma reinventing government yang mengutamakan kinerja pada hasil akhir atau tujuan/visi organisasi dan bukan pada mendasari input dan menjalankan proses.
Selain itu ada pergeseran peran pemerintah dari member pelayanan menjadi fasilitator yang berfokus pada perbaikan kinerja dan perbaikan kualitas. Perubahan paradigmatik, pola pikir, pola sikap dan pola tindak ini menuju kepada pemerintahan yang baik dan amanah ini kita namakan good governance.
Indikator good governance dikemukakan oleh PBB (UNDP), yaitu organisasi multilateral, seperti GTZ, JICA, OECD. Kesemua indikator tersebut baik, namun dalam kontek Indonesia akan lebih baik dipakai indikator yang terlengkap, yaitu (1) visi strategis, (2) transparansi, (3) responsivitas, (4) keadilan (5) consensus, (6) efektivitas dan efisiensi, (7) akuntabilitas (8) kebebasan berkumpul dan berpartisipasi (9) penegakan hukum, (10) demokrasi, (11) kerja sama, (12) komitmen pada pasar, (13) komitmen padalingkungan, (14) desentralisasi.

Capacity Building sebagai Akselerator Good Governance untuk Mewujudkan Daerah Otonom
Dalam konteks paradigm kontekstual, otonomi daerah hendaknya memungkinkan pemerintah daerah memberikan yang terbaik bagi masyarakat daerah, dengan tetap menjaga terpeliharanya Negara kesatuan RI.
Untuk itu pemerintah daerah dan legislatifnya harus mempunyai kemampuan yang tinggi. Untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan capacity buiding, yaitu serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas dan responsivitas dari kinerja pemerintah dengan memusatkan perhatian pada pengembangan dimensi sumber daya manusia, penguatan organisasi dan reformasi kelembagaan (lingkungan). Sehubungan dengan hal tersebut maka pemerintah daerah perlu mempersiapkan :
Penetapan secara jelas visi dan misi daerah dan lembaga pemerintah daerah;
Perbaikan sistem kebijaksanaan publik di daerah;
Perbaikan struktur organisasi pemerintah daerah;
Perbaikan kemampuan manajerial dan kepemimpinan pemerintah daerah;
Pengembangan sistem akuntabilitas internal dan eksternal;
Perbaikan budaya organisasi pemerintah daerah;
Peningkatan sumber daya manusia aparat pemerintah daerah;
Pengembangan sistem jaringan antarkabupaten/kota dengan pihak lain;
Pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan pemerintah daerah yang kondusif.














No comments:

Post a Comment