KEGIATAN BELAJAR 2
Globalisasi yang di percepat dengan pertumbuhan luar bisasa dari media masa melalui media telekomunikasi dianggap akan menghilangkan batas geografi suatu negara. Akibatnya, nasionalisme akan kehilangan wujud aslinya dan bergantimenjadi universalisme atau globalisme, dimana orang akan menjadi warga dunia, bukan warga suatu negara yang batas-batas geografiknya sudah jelas.
Pemikiran ini berangkat dari buah pikiran Kenichi Ohmae, yaitu “Dunia Tanpa Batas”. Apa yang di utarakan terutama dalam bidang-bidang bisnis, telekomunikasi atau informasi maupun transportasi akan menembus batas-batas negara, bangsa, dan identitas suatu bangsa. Nasionalisme tetap ada dan relevan dibicarakan mengingat:
Manusia bukanlah sekedar mass product, tetapi makhluk yang berakal, berperasaan, dan berbudaya.
Fitnah manusia sebagai makhluk social yang bergolong-golong (primordial). Primordialisme akan meluas kearah nasionalisme. Oleh karena itu, nasionalisme tidak akan lenyap karena saat ini dengan mudah melakukan komunikasi dengan manusialain di belahan bumi lain dengan waktu yang relative singkat.
Proses globalisasi tidak akan berjalan secara mekanistik dan pada akhirnya proses tersebut diciptakan dan dikendalikan oleh manusia.
Ancaman bagi nasionalisme bukanlah dari globalisasi (eksternal) melainkan banyak ditentukan dari masalah-masalah internal yaitu dari situasi ekonomi, social, politik, dan keamanan di dalam negeri.
Nasionalisme dewasa mempunyai objek yang berbeda jika dibandingkan dengan nasionalisme dimasa penjajahan. Dimasa penjajahan, objek bagi nasionalisme adalah “penjajah” yang ditampilkan dalam bentuk kesediaan untuk ikut berjuang melawan penjajah. Setelah merdeka, nasionalisme mempunyai objek “negara dan bangsa” sendiri sebagai penentu kadar nasionalisme seseorang. Dengan demikian, nasionalisme dewasa ini berkembang dari persepsi individu warga negara terhadap negaranya karena penjajah sudah pergi.
Jika mereka tetap memperoleh persepsi yang baik terhadap “negara dan bangsanya” maka kecintaan terhadap bangsa dan negaranya akan tetap terjaga dan jika persepsinya jelek maka kecintaan terhadap bangsa dan negara akan turun atau hilang sama sekali. Kesalahan umum yang sering terjadi didalam memahami kadar nasionalisme suatu bangsa, adalah upaya secara tidak sadar untuk mencampur adukkan persepsi pribadi terhadap orang lain, dengan persepsi individu terhadap bangsa dan negaranya.
Dalam negara demokrasi, pebedaan pendapat adalah suatu hal yang wajar bahkan merupakan karakter dari demokrasi itu. Menghargai pendapat orang lain adalah salah satu cirri dari demokrasi tersebut. Oleh karena itu, orang yang mengkritik suatu keadaan atau suatu sistem belum tentu didorong oleh rasa bencinya terhadap bangsa dan negaranya, tetapi mungkin karena cinta terhadap bangsa dan negara untuk meluruskan sesuatu yang dianggap bisa merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tantangan utama dalam mempertahankan nasionalisme tidak ditentukan semata-mata oleh tantangan dari luar, melainkan tantangan tersebut dapat berwujud upaya untuk menjaga citra bangsa dan negara agar selalu positif dan dengan demikian menjadi kebanggaan bagi seluruh warga negara. Belajar dari pengalaman pembangunan di negara-negara tetangga yang dapat menumbuhkan kebanggaan terhadap bangsa dan negara maka harus ditumbuhkan etika kepemimpinan dan etika sosial yang berlandaskan kejujuran, kerja keras dan hemat dalam upaya menuju masyarakat Indonesia yang modern. Sebagaimana yang diwasiatkan oleh pendiri repobik ini. Soekarno, bahwa kebesaran bangsa dan kemakmuran tidak pernah jatuh gratis dari langit, tetapi selalu merupakan kristalisasi keringat (kerja keras).
Sementara itu, dalam era globalisasi ini dimana derasnya isu demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup yang melanda dunia, sebagai bangsa Indonesia, kita dapat menerima dan mengkaji dengan arif berdasarkan paradigm (sudut pandang) dan metode berfikir pancasila.
Mengkaji suatu permasalahan dan perspektif liberal, sosialis komunis maupun fundamentalis agama pasti akan menghasilkan produk dan manusia lain yang tidak seiring bahkan bertentangan dengan akar budaya bangsa kita “pancasila” yang menganut paham keseimbangan, keselarasan dan keserasian hubungan antara Engkau yang abadi (Tuhan Yang Maha Esa, sila 1), aku (manusia dalam konsep abstrak, sila 2) dan sosialitas manusia (sila 3,4, dan 5). Konsep dasarnya adalah Kemahaesaan Tuhan, manusia adalah makhluk individu serentak sebagai makhluk sosial “integralisme”.
Globalisasi yang di percepat dengan pertumbuhan luar bisasa dari media masa melalui media telekomunikasi dianggap akan menghilangkan batas geografi suatu negara. Akibatnya, nasionalisme akan kehilangan wujud aslinya dan bergantimenjadi universalisme atau globalisme, dimana orang akan menjadi warga dunia, bukan warga suatu negara yang batas-batas geografiknya sudah jelas.
Pemikiran ini berangkat dari buah pikiran Kenichi Ohmae, yaitu “Dunia Tanpa Batas”. Apa yang di utarakan terutama dalam bidang-bidang bisnis, telekomunikasi atau informasi maupun transportasi akan menembus batas-batas negara, bangsa, dan identitas suatu bangsa. Nasionalisme tetap ada dan relevan dibicarakan mengingat:
Manusia bukanlah sekedar mass product, tetapi makhluk yang berakal, berperasaan, dan berbudaya.
Fitnah manusia sebagai makhluk social yang bergolong-golong (primordial). Primordialisme akan meluas kearah nasionalisme. Oleh karena itu, nasionalisme tidak akan lenyap karena saat ini dengan mudah melakukan komunikasi dengan manusialain di belahan bumi lain dengan waktu yang relative singkat.
Proses globalisasi tidak akan berjalan secara mekanistik dan pada akhirnya proses tersebut diciptakan dan dikendalikan oleh manusia.
Ancaman bagi nasionalisme bukanlah dari globalisasi (eksternal) melainkan banyak ditentukan dari masalah-masalah internal yaitu dari situasi ekonomi, social, politik, dan keamanan di dalam negeri.
Nasionalisme dewasa mempunyai objek yang berbeda jika dibandingkan dengan nasionalisme dimasa penjajahan. Dimasa penjajahan, objek bagi nasionalisme adalah “penjajah” yang ditampilkan dalam bentuk kesediaan untuk ikut berjuang melawan penjajah. Setelah merdeka, nasionalisme mempunyai objek “negara dan bangsa” sendiri sebagai penentu kadar nasionalisme seseorang. Dengan demikian, nasionalisme dewasa ini berkembang dari persepsi individu warga negara terhadap negaranya karena penjajah sudah pergi.
Jika mereka tetap memperoleh persepsi yang baik terhadap “negara dan bangsanya” maka kecintaan terhadap bangsa dan negaranya akan tetap terjaga dan jika persepsinya jelek maka kecintaan terhadap bangsa dan negara akan turun atau hilang sama sekali. Kesalahan umum yang sering terjadi didalam memahami kadar nasionalisme suatu bangsa, adalah upaya secara tidak sadar untuk mencampur adukkan persepsi pribadi terhadap orang lain, dengan persepsi individu terhadap bangsa dan negaranya.
Dalam negara demokrasi, pebedaan pendapat adalah suatu hal yang wajar bahkan merupakan karakter dari demokrasi itu. Menghargai pendapat orang lain adalah salah satu cirri dari demokrasi tersebut. Oleh karena itu, orang yang mengkritik suatu keadaan atau suatu sistem belum tentu didorong oleh rasa bencinya terhadap bangsa dan negaranya, tetapi mungkin karena cinta terhadap bangsa dan negara untuk meluruskan sesuatu yang dianggap bisa merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tantangan utama dalam mempertahankan nasionalisme tidak ditentukan semata-mata oleh tantangan dari luar, melainkan tantangan tersebut dapat berwujud upaya untuk menjaga citra bangsa dan negara agar selalu positif dan dengan demikian menjadi kebanggaan bagi seluruh warga negara. Belajar dari pengalaman pembangunan di negara-negara tetangga yang dapat menumbuhkan kebanggaan terhadap bangsa dan negara maka harus ditumbuhkan etika kepemimpinan dan etika sosial yang berlandaskan kejujuran, kerja keras dan hemat dalam upaya menuju masyarakat Indonesia yang modern. Sebagaimana yang diwasiatkan oleh pendiri repobik ini. Soekarno, bahwa kebesaran bangsa dan kemakmuran tidak pernah jatuh gratis dari langit, tetapi selalu merupakan kristalisasi keringat (kerja keras).
Sementara itu, dalam era globalisasi ini dimana derasnya isu demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup yang melanda dunia, sebagai bangsa Indonesia, kita dapat menerima dan mengkaji dengan arif berdasarkan paradigm (sudut pandang) dan metode berfikir pancasila.
Mengkaji suatu permasalahan dan perspektif liberal, sosialis komunis maupun fundamentalis agama pasti akan menghasilkan produk dan manusia lain yang tidak seiring bahkan bertentangan dengan akar budaya bangsa kita “pancasila” yang menganut paham keseimbangan, keselarasan dan keserasian hubungan antara Engkau yang abadi (Tuhan Yang Maha Esa, sila 1), aku (manusia dalam konsep abstrak, sila 2) dan sosialitas manusia (sila 3,4, dan 5). Konsep dasarnya adalah Kemahaesaan Tuhan, manusia adalah makhluk individu serentak sebagai makhluk sosial “integralisme”.
No comments:
Post a Comment